Catatan Setelah Sidang Skripsi

Niamah
7 min readAug 28, 2023

--

Foto pribadi setelah sidang skripsi

Tiba-tiba waktu terasa begitu cepat. Kemarin rasanya baru saja saya menuliskan catatan di sela-sela skripsi. Sekarang, saya hadir dengan kabar bahwa skripsi saya telah diujikan pada 24 Agusus 2023.

Saat ujian (sidang skripsi) berlangsung tidak banyak ketakutan pada diri. Saya rasa, saya telah menggarap dengan sebaik-baiknya. Walau semua orang tahu, saya terlambat. Saya membutuhkan waktu lima tahun lamanya untuk belajar di jurusan psikologi.

Ujian berlangsung kondusif. Pada kesempatan pertama, saya diuji oleh dosen wali sendiri, Bapak Amri Hana Muhammad. Sebagai pembuka, beliau bertanya alasan mengapa saya memilih topik tersebut karena beliau tidak menyangka akan variabel-variabel yang saya pilih.

Kalau saya baca-baca lagi, sepertinya memang jika saya tidak menuliskan jurusan psikologi pada halaman pertama skripsi, orang tidak tahu jika itu memang skripsi psikologi. Pasalnya, judul skripsi saya (setelah saya baca dan mendengar komentar dari sahabat saya yang jurusan bahasa) agak ke-fisip-fisip-an ya topiknya.

Saya menuliskan judul pengaruh kepemimpinan transformasional spesifik lingkungan terhadap perilaku pro-lingkungan pada pegawai universitas.

Sedari awal saya memang tidak ada ketertarikan secara khusus pada jurusan psikologi beserta spesialisasi di dalamnya (pendidikan, sosial, perkembangan, klinis, serta industri & organisasi).

Lewat obrolan dengan teman yang diberi amanat untuk menyampaikan bahwa ada dosen pembimbing yang menawarkan penelitian payung tentang psikologi konservasi, membuat saya tertarik bergabung.

Jadilah saya belajar dari awal — psikologi konservasi yang terdengar asing bagi saya saat itu. Kajian mengenai psikologi konservasi atau lingkungan ini sebenarnya sudah lama ada. Namun baru terdengar akhir-akhir ini dan belum banyak yang mau mengambil bagian dari itu.

Padahal, semestinya ini menjadi tamparan keras bagi bidang manapun. Melihat isu perubahan iklim adalah masalah nyata di depan mata kita sendiri semestinya membuat kita beranjak dari zona nyaman. Psikologi hanya sebagian kecil dari upaya memahami persoalan tersebut. Perlu kesinambungan atau kolaborasi antar bidang keilmuwan lainnya.

Ditambah saya merasa tertampar untuk kedua kalinya lewat cuplikan buku berikut:

Cuplikan buku Psikologi Konservasi

Adalah buku yang ditulis oleh Susan Clayton dan Gene Myers berjudul “Psikologi Konservasi” yang direkomendasikan oleh dosen pembimbing saya untuk kemudian saya baca dan kutip menjadi bagian dari skripsi. Dalam epilognya, penulis juga masih berharap “perilaku manusia memang sumber utama masalah-masalah lingkungan hidup, namun perilaku manusia juga yang dapat menjadi sumber solusinya”.

Kata kuncinya pada ‘perilaku’. Psikologi hadir sebagai bagian dari ilmu perilaku manusia yang merupakan manifestasi dari pikiran dan perasaan.

Sampul buku Psikologi Konservasi

Itu pula yang menjadi dasar untuk saya menjawab pertanyaan penguji pertama. Selama ujian berlangsung rasanya tidak seperti ujian. Lebih tepatnya kami berdiskusi tentang perjalanan kepenulisan (yang ternyata saya baru tahu kalau penguji saya dulu gemar menulis di media massa, tahu gitu dulu saya langsung belajar sama blio huhu) dan membicarakan topik konservasi di psikologi.

Belakangan saya juga baru tahu bahwa Susan Clayton, penulis buku di atas, juga menggarap penyusunan agenda oleh American Psychological Association (APA) atau kiblat organisasi psikologi dunia tentang tanggapan psikologi mengenai dampak perubahan iklim.

Penulis buku yang juga penyusun agenda APA
Foto jurnalistik visualisasi isu perubahan iklim

Oh ya, saya juga sengaja mengambil cuplikan gambar di atas karena saya baru sadar itu adalah karya fotografer jurnalistik, Mas Aji Setyawan (narasumber pelatihan jurnalistik yang saya ikuti sewaktu di Kudus). Pertemuan yang ganjil. Karya Mas Aji menjadi bagian visualisasi mengenai dampak perubahan iklim terhadap manusia. Sewaktu memberi pelatihan jurnalistik, beliau memang sedikit banyak bercerita tentang proyek fotografi berkenaan krisis iklim yang tengah dikerjakan.

Itu tadi intermeso hehe

Kembali ke suasana sidang ya,

Sementara penguji 2, Ibu Laila Listiana Ulya menambahkan terkait beberapa hal yang perlu saya jelaskan pada skripsi. Ini berkaitan dengan cara menuliskan konsep psikologi ke dalam penjelasan yang bisa dipahami orang-orang di luar bidang ini. Saya perlu menjabarkan secara spesifik bagian-bagian mana yang sekiranya masih umum.

Saya bisa menerima tanggapan beliau terhadap skripsi saya. Terus terang, beliau adalah dosen yang saya kagumi dalam menjelaskan sesuatu secara jelas dan efektif. Beliau juga terbuka dengan konsep baru dan itu pula yang membuat suasana diskusi lebih hidup.

Melalui catatan ‘setelah skripsi ini’, ada beberapa pesan yang ingin saya abadikan. Semoga menjadi pengingat jika suatu saat saya lupa, bahwa saya tidak seburuk yang saya kira. Saya melihat diri saya pada dua sisi. Sisi pertama saya menyadari saya diberi potensi tertentu. Sisi lain, saya seperti dikutuk memiliki perasaan tidak cukup baik, keras terhadap diri sendiri, dan minder gak ketulung (apakah selamanya saya akan berdampingan dengan perasaan-perasaan tersebut? Semoga tidak ya!)

Berikut adalah percakapan antar penguji sewaktu sidang,

“Saya membaca tulisanmu dengan cukup nyaman, meski kamu tidak menyadari kalau selama ini tidak ngeh bahwa kalau menurut saya kamu itu sebenarnya orang yang diberi kemudahan untuk menulis. Jadi ini mungkin potensi atau gak tahu sih kamu sadar atau engga. Kalimatmu kalimat yang enak dibaca, bisa jadi itu potensi yang perlu dikembangkan dan dianalisa” (Penguji 1)

“Dia wartawan” (Penguji 3)

“Berarti asesmen saya tidak salah. Mungkin bisa dikembangkan ke depan” (Penguji 1)

Saya sebenarnya sadar. Saya juga sengaja tidak menuliskan di biodata akhir bagian skripsi tentang proses kepenulisan selama ini. Saya teramat takut dengan ekspektasi orang terhadap diri. Saya ingin dilihat sebagaimana adanya tanpa embel-embel apapun. Itu sebuah paradoks. Tidak dapat memungkiri, mau tidak mau sebuah atribut tidak lepas dari seseorang. Orang baru bisa dikenal melalui atribut yang disandang. Fakta yang tidak bisa dielak.

Dalam proses kepenulisan, saya pernah menjadi duta baca dan menjuarai perlombaan mengarang cerita sewaku SMA. Sewaktu kuliah, saya juga bergabung pada organsisasi pers mahasiswa (pada bagian ini kenapa penguji 3 alias dosen pembimbing saya mengatakan saya wartawan karena beliau dulunya pernah menjadi salah satu narasumber liputan). Saya menjuarai lomba karya tulis baik ilmiah maupun populer. Berkesempatan mengikuti research fellow. Berkesempatan menjadi asisten riset dan editor jurnal. Di sini saya coba menuliskan kembali sekaligus berefleksi atas apa yang telah saya lalui.

Saya telah melampaui apa yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kesempatan itu saya peroleh dari orang-orang baik yang bersedia sabar menjadi sahabat sekaligus guru sampai sekarang. Untuk itu, memberikan yang terbaik adalah seminimal upaya dalam menjaga kepercayaan atas kesempatan yang telah diberikan.

Meski bagi saya, terkadang proses membaca, menulis, kemudian menyunting adalah proses yang menyakitkan. Saya bisa didera sakit kepala berminggu lamanya dan paling buruk, akhir-akhir ini saya sempat terkena masalah asam lambung. Tapi, kata sahabat saya, “kenyataannya kamu suka dan berkecimpung di sana”. Biarlah waktu yang menjawab akan berakhir seperti apa perjalanan hidup manusia satu ini.

“Ini pekerjaan intelektual yang tidak banyak diketahui orang, kalau kamu pengen memasukinya, semoga bisa mencapai tahapan tersebut.”

“Dan proses itu harus dijalani. Wong berhenti menulis satu bulan, tulisan kita sudah tidak lagi tajam. Semoga setelah ini lulus, Mbak Niamah bisa berproses, kemampuan menulisnya bisa dilatih, untuk kemudian dipublikasikan,” adalah harapan dari penguji sidang yang semoga bisa terwujud walau saya tidak tahu kapan.

Satu dari sekian pelajaran yang diberikan, kenyataan membuktikkan bahwa saya adalah penakut. Pak Amri berterus terang “tidak harus pintar dulu” alias setidaknya kita belajar dari proses. Urusan terlihat pintar tidaknya akan terlihat dari hasil proses yang dilalui. Berarti ke depan saya mesti belajar berproses.

Tapi jujur saja, selama proses menulis skripsi ini saya meninggalkan beberapa hal. Pekerjaan, waktu dengan keluarga, dan tawaran menulis serta menyunting. Saya juga tidak lagi punya waktu membaca buku-buku favorit. Setelah skripsi saya selesai saya akan membalas dendam! Hehehe

Setiap kali mengeluhkan hal tersebut, sahabat-sahabat saya menimpali, “Selesaikan dulu satu-satu!” (Umi, Nadia, Fajar, Amil, Lala tidak hentinya menyerukan itu)

Kenyataannya, fase ini juga membuat saya belajar, “Bahwa tidak semua hal bisa kita genggam secara bersamaan”. Seperti apa yang diucap Taylor Swift, “Part of growing up, and moving into new chapters of your life, is about catch and release. What I mean by that, is knowing what things to keep, and what things to release”.

Saya mesti kembali fokus (menuntaskan skripsi), meski melepas (sementara) hal-hal yang saya suka maupun menjadi tanggung jawab saya pada peran hidup yang lain.

Di akhir ujian, saya juga sempat menangis. Dosen pembimbing mengakui bahwa perjalanan skripsi saya cukup pelik. Itu yang membuat saya tidak lagi mampu membendung air mata. Setiap kabar buruk maupun baik, saya beri tahu pada pembimbing saya, Bapak Abdul Azis. Termasuk kabar sewaktu saya ingin mengambil cuti pada awal tahun 2023. Tetapi beliau melarang dan memberi bantuan agar saya tetap lanjut menyelesaikan skripsi sambil bekerja.

Menjadi perempuan, anak dari orang tua tunggal, mbak dari kedua adik, bekerja untuk menyambung hidup, dan sederet tanggung jawab lain adalah variabel kendala yang tidak bisa saya hindari.

Sampai di titik ini saya tidak akan menyalahkan takdir yang saya jalani. Saya selalu yakin bahwa apa yang Ia kehendaki adalah sebaik-baiknya jalan untuk ditempuh. Bahwa karena hanya saya yang mampu menjalani itu semua. Saya diberi daya untuk berupaya. Dan kembali menjalankan tugas sebaik-baiknya. Setakut apa saya dalam menjalani hidup, selalu ada ruang untuk kembali.

Saya selalu mengingat akan catatan yang ditulis oleh seseorang,

“Sepertinya kita belum pernah melihat dunia tempat kita boleh payah ataupun gagal. Meskipun begitu, cobalah lakukan sebisa kita. Mari kita berjuang sekuat tenaga kita. Namun meskipun gagal, hati yang kuat untuk bangkit lagi semoga akan terus memihak kita”.

Boleh jadi saya gagal lulus tepat waktu, tetapi saya bersyukur diberi hati yang kuat untuk bangkit. Lagi pula, terlambat lulus bukan suatu kejahatan.

Pada titik ini, saya akhirnya bisa melakukan penilaian positif dari keterlambatan studi. Jika saya tidak terlambat, saya tidak tahu rasanya mengantar kedua adik saya menginjakkan kaki ke sekolah menengah pertamanya.

Bahkan saya juga menyaksikan adik saya yang pertama lulus SMP dan pada akhirnya juga berhasil masuk SMA dan pondok pesantren. Bahwa dari keterlambatan ini saya pada akhirnya menemukan dan mengenali diri yang agaknya memang ‘generalis’. Bahwa dari keterlambatan ini saya menjumpai pekerjaan pertama di bidang kreatif. Bahwa dari keterlambatan ini masih ada banyak hal yang bisa saya pelajari.

Terima kasih kepada pihak-pihak pendukung dalam proses pengerjaan skripsi saya sampai selesai.

Akhir kata,

Hipotesis 1: skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai diterima.

Hipotesis 2: skripsi yang baik adalah skripsi yang membuat kita belajar diterima.

Hipotesis 3: ujian hidup > ujian skripsi adalah signifikan.

Sudah kuantitatif belum?

Jepara, 28 Agustus 2023

--

--

Niamah
Niamah

Written by Niamah

Pembelajar psikologi. Suka menulis, memotret, dan mendengarkan lagu.