Merawat Diri Sambil Merawat Orang Lain: Menjelajahi Konsep Baru Self-Love
Saya meyakini bahwasannya perjalanan mencintai diri sendiri adalah upaya terus menerus. Tidak ada pendekatan paling pas, sekalipun referensi self-love kita hari-hari ini menawarkan “beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk self-love”.
Saya tidak menyalahkan beberapa materi self-love baik yang dibawakan para jenama di media sosial, pakar kesehatan mental, atau referensi manapun yang kita peroleh dalam memahami makna self-love atau selebihnya saya pilih istilah ‘cinta diri’ di sini.
Mendengar ‘self-love’ saja terus terang membuat saya skeptis. Seseorang memberi tahu saya untuk tidak menelan secara mentah-mentah konsep asing, meski pengalaman cinta diri merupakan pengalaman yang universal.
Cinta diri marak dibicarakan seiring pemahaman masyarakat kita tentang kesehatan mental mulai berkembang. Konsep ini sebagian besar diartikan sebagai bentuk kepuasan pada diri sendiri. Ini bisa berarti sikap menghargai diri dan mengenali kebutuhan-kebutuhan diri.
Beberapa saran praktis menganjurkan untuk menerapkan cinta diri ini dengan: memperhatikan kesehatan fisik, melakukan hobi yang disenangi, meluangkan waktu bersama orang terdekat, dan banyak sekali saran yang biasa kita temukan. Namun, pertanyaannya, apakah setiap saran-saran itu cocok untuk beberapa orang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya mulai merenungkan hal berikut:
Siapa sebenarnya orang-orang yang membutuhkan cinta diri?
Apakah konsep cinta diri ini bisa memiliki makna yang berbeda ketika setiap wilayah atau negara memiliki budaya masing-masing?
Saya akan menjawab dua pertanyaan itu dengan bantuan penjelasan dari video oleh Dokter Jiemi Ardian di salah satu saluran YouTube judulnya “Mencintai Diri Sendiri sebelum Mencintai Orang Lain, dan Quotes Keliru Lainnya”
Alasan saya memilih video tersebut karena bagi saya, video itu menawarkan kebaruan dari berbagai sumber penjelasan cinta diri yang mungkin selama ini hanya berkaitan dengan saran-saran praktis. Dalam penjelasan ini saya coba sekalian dengan merefleksikan dengan pengalaman pribadi. Ini mungkin bisa relevan dengan orang lain, bisa jadi tidak.
Pertama, Dokter Jiemi menjawab orang-orang yang membutuhkan cinta diri sangat mungkin orang yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang tidak mencintai dirinya, sehingga dia kesulitan mencintai diri — yang mana mencintai diri itu butuh pembelajaran dari lingkungan sekitar yang mencintai dirinya.
Artinya, yang paling butuh mencintai diri adalah yang paling sulit mencintai diri.
Sejak kecil, saya tidak terbiasa mendapat apresiasi dari lingkungan terdekat — keluarga. Keluarga saya selalu menekankan untuk menjadi sempurna dalam berbagai hal. Saya tumbuh menjadi orang yang sulit merasa cukup.
Karena validasi akan pencapaian tidak saya dapat dari orang terdekat, maka saya mencari-carinya dari orang lain. Tapi lama-lama saya capek juga. Saya berhenti dan mencoba perlahan sadar bahwa saya cukup bagi diri saya sendiri dengan atau tanpa validasi dari orang lain. Dari sini saya mulai belajar, sikap menghargai diri sendiri.
Untuk pertanyaan kedua, tentang cinta diri dalam konteks budaya yang berbeda, membuat saya mendefinisikan ulang arti cinta diri.
Di wilayah lain, konsep individualisme mungkin tidak akan dipermasalahkan. Namun akan berbeda halnya di wilayah yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme.
Sebagai individu yang tumbuh dengan orang tua tunggal dan posisi saya masih memiliki adik yang masih kecil-kecil, hidup tidak lagi tentang diri saya sendiri (sandwich generation alias generasi geprek atau istilah apalah yang paling tepat menggambarkan kondisi tersebut can related haha)
Adalah tindakan berdosa ketika tiba-tiba saya jalan-jalan, makan-makanan favorit, atau melakukan aktivitas yang saya senangi lainnya dengan dalih cinta diri. Konsep cinta diri ini menjadi berbahaya ketika kita mengaburkan tanggung jawab sosial kita terhadap orang-orang terdekat — bisa keluarga maupun rekan kerja.
Sampai hari ini saya masih berusaha menjaga keseimbangan kehidupan pribadi dengan kehidupan sosial yang saya miliki. Jurang egoisme dalam narasi cinta diri masih saya pelajari setiap hari.
Kembali pada penjelasan Dokter Jiemi berikutnya bahwa sejak dulu kita seringkali ditanamkan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Keyakinan itu tumbuh mengakar pada masyarakat kita dan menjadi masalah bagi orang-orang yang belajar mencintai diri. Ketika kita meletakkan tanggung jawab sosial kita di atas segalanya bisa-bisa akan mengaburkan kehidupan pribadi kita sendiri.
Sebaliknya, ketika kita belajar mendahulukan kepentingan pribadi, nanti kita khawatir dan dihantui perasaan bersalah karena telah melakukan tindakan egoisme.
Dilematis memang. Tapi itulah realita masalah orang-orang yang belajar mencintai dirinya sendiri.
Dari situ saya justru mendapat titik kesimpulan bahwasannya cinta diri berarti menjaga keseimbangan kehidupan pribadi dengan kehidupan sosial atau cinta diri akan membawa kita pada keseimbangan.
Saya justru merasa puas ketika saya berhasil melakukan tanggung jawab saya kepada orang-orang sekitar. Misalnya ketika saya merawat adik-adik saya. Saya mencoba memenuhi kebutuhan mereka, memberi yang terbaik untuk mereka, dan syukur-syukur apa yang saya lakukan bisa membuat mereka sadar bahwa mereka dicintai oleh saya — meski saya tidak benar-benar bisa memastikan itu.
Saya juga merasa tenang ketika saya melakukan pekerjaan saya dengan baik, mencintai pekerjaan, dan menjalin komunikasi dengan atasan maupun rekan kerja tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pekerjaan.
Artinya, belajar cinta diri bisa dimulai dengan mencintai orang lain. Ketika kita mencintai orang atau sesuatu kita akan mengupayakan yang terbaik untuk mereka. Lalu karena kita mencintai orang tersebut, maka ketika orang itu gagal atau mengalami hal buruk, sebagai orang yang cinta kita akan memberikan dukungan kepadanya.
Cara-cara itu kemudian juga saya tarik ke dalam. Saya membayangkan belajar mencintai atau merawat diri saya sama seperti ketika saya merawat orang lain.
Ketika saya gagal, saya tidak akan mengkritik diri saya berlebihan. Ketika saya berhasil, saya mampu mengapresiasi diri saya sendiri.
Saya rasa, pembelajaran cinta diri atau merawat diri saya tumbuh dari upaya merawat orang lain.
Namun, itu semua juga bukan sesuatu yang tampak sederhana. Sebagai manusia biasa ada kalanya saya merasa kewalahan dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan kehidupan sosial. Merespons hal tersebut, yah sesekali saya memberi jeda pada diri sendiri. Melakukan hal-hal kecil menyenangkan, menulis catatan harian, maupun mencari dukungan sosial. Sebagian aktivitas barusan juga akan masuk kategori cinta diri.
Bagi saya sekarang cinta diri punya dua kondisi: ada kalanya memikirkan orang lain tanpa harus mengorbankan diri sendiri. Ada kalanya mungkin perlu mementingkan diri sendiri tanpa harus menyakiti orang lain. Semua kembali pada pertanyaan: apa yang menjadi prioritas kita saat ini?
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba Ruang Mojok #4 dan berakhir begitu saja